Bandar Brano dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang ateis dan ibunya penganut Kristen taat. Melalui ibunya, Brano mendapatkan fondasi keimanan Kristen.
Ketika usia 12 tahun, Brano mulai mendapatkan pendidikan agama secara resmi. Ini terjadi ketika Ceko lepas dari kekuasaan komunis.
Saat itu, semangat Brano untuk mendalami ajaran Kristen kian besar. Ia begitu antusias menanti pembaptisannya. "Saya sewaktu kecil gemar berdoa, membaca Alkitab, rutin menghadiri misa dan melayani gereja," kenang Brano seperti dikutip onislam.net, Jumat (31/5).
Antusiasme Brano untuk dibaptis surut ketika gereja menolak keinginannya. Brano baru mengetahui orang tuanya tidak menikah di gereja. Ogah menyerah, Brano meminta bantuan orang tuanya. Tapi, usahanya sia-sia, sebab gereja tetap menolak.
Sejenak melupakan masalah itu, Brano mencari pelarian dengan memilih kelas etika ketimbang studi agama. Pilihan ini tidak terlepas dari rasa kekecewaannya terhadap perlakuan gereja.
"Saya tidak butuh pembaptisan atau misa gereja. Jadi, saya mulai berhenti berdoa dan membaca Alkitab," katanya.
Efek dari pernikahan orang tua Brano rupanya tidak hanya berdampak pada penolakan gereja, tetapi juga perlakuan rasis teman sekolah, tetangga, guru dan lingkungan di sekitarnya. Sebagian dari mereka menilainya bagian dari gipsi yang tidak beradab.
"Saya tidak lagi memiliki teman karena mereka takut dengan identitas saya," tuturnya.
Beranjak dewasa, emosi Brano mulai tidak stabil. Ia mulai bertengkar dengan kedua orang tuannya. Suatu hari, ia meninggalkan rumah. Ketika meninggalkan rumah, ia bertemu tiga pelajar Muslim Sudan. Pertemuan ini mengubah jalan hidupnya.
Ketika usia 12 tahun, Brano mulai mendapatkan pendidikan agama secara resmi. Ini terjadi ketika Ceko lepas dari kekuasaan komunis.
Saat itu, semangat Brano untuk mendalami ajaran Kristen kian besar. Ia begitu antusias menanti pembaptisannya. "Saya sewaktu kecil gemar berdoa, membaca Alkitab, rutin menghadiri misa dan melayani gereja," kenang Brano seperti dikutip onislam.net, Jumat (31/5).
Antusiasme Brano untuk dibaptis surut ketika gereja menolak keinginannya. Brano baru mengetahui orang tuanya tidak menikah di gereja. Ogah menyerah, Brano meminta bantuan orang tuanya. Tapi, usahanya sia-sia, sebab gereja tetap menolak.
Sejenak melupakan masalah itu, Brano mencari pelarian dengan memilih kelas etika ketimbang studi agama. Pilihan ini tidak terlepas dari rasa kekecewaannya terhadap perlakuan gereja.
"Saya tidak butuh pembaptisan atau misa gereja. Jadi, saya mulai berhenti berdoa dan membaca Alkitab," katanya.
Efek dari pernikahan orang tua Brano rupanya tidak hanya berdampak pada penolakan gereja, tetapi juga perlakuan rasis teman sekolah, tetangga, guru dan lingkungan di sekitarnya. Sebagian dari mereka menilainya bagian dari gipsi yang tidak beradab.
"Saya tidak lagi memiliki teman karena mereka takut dengan identitas saya," tuturnya.
Beranjak dewasa, emosi Brano mulai tidak stabil. Ia mulai bertengkar dengan kedua orang tuannya. Suatu hari, ia meninggalkan rumah. Ketika meninggalkan rumah, ia bertemu tiga pelajar Muslim Sudan. Pertemuan ini mengubah jalan hidupnya.
Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/06/05/mnx9vo-bandar-brano-si-gipsi-yang-percaya-keesaan-tuhan
noreply@blogger.com (rian saadillah sukamdi Yan) 05 Jun, 2013
-
Source: http://besoklagiaja.blogspot.com/2013/06/bandar-brano-si-gipsi-yang-percaya.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar