Warga Indonesia tentu sudah akrab dengan varietas polong-polongan petai dan jengkol. Keduanya adalah tanaman khas Asia Tenggara. Tidak cuma wilayah tumbuhnya, dua bahan masakan ini punya sifat khas lain, yaitu menimbulkan bau badan menyengat bagi orang yang mengonsumsinya.
Meski demikian, tidak dipungkiri banyak warga negara ini menggemari, bahkan ada yang kecanduan, menikmati masakan olahan petai dan jengkol. Dua bahan pangan ini setelah dimasak memberikan sensasi rasa gurih agak pahit bikin nagih.
Terbukti, bangsa ini punya variasi masakan olahan jengkol dan petai bejibun. Mulai dari petai gado tempe, rendang jengkol, semur jengkol, atau sekadar menjadikan petai bahan penyedap nasi goreng. Penikmat kuliner tak peduli nanti muncul risiko bau mulut ataupun air seni beraroma kurang sedap.
Celakanya, sejak akhir bulan lalu pergerakan harga dua bahan makanan populer itu bikin keki para penggemar.
Awalnya yang terhenyak adalah para pecandu jengkol. Di wilayah Jabodetabek, harga jengkol mencapai Rp 50.000 per kilogram. Sampai awal pekan ini, harganya masih stabil tinggi.
Harga jengkol itu bahkan lebih tinggi dari beberapa bahan pokok lain seperti daging ayam negeri. Menurut data Kementerian Perdagangan, per 28 Mei, harga ayam broiler di pasaran sebesar Rp 26.122 per kg.
Jengkol pun mengalahkan harga sembako lainnya seperti telur ayam kampung, cabe merah dan bawang merah. Telur ayam kampung di pasaran mencapai Rp 35.127 per kg sedangkan cabe merah dan bawang merah rata-rata Rp 30.000 per kg.
Salah satu pedagang Pasar Kota Bekasi, Teguh (33), mengatakan tingginya harga jengkol akhir-akhir ini lantaran minimnya pasokan di pasaran. Kelangkaan jengkol disebabkan tak adanya pasokan dari Palembang. Jengkol dari Sumatera Selatan biasanya paling banyak dijual di pasaran.
Menurut Teguh, sejak akhir bulan kemarin, jengkol yang ada di pasaran merupakan kiriman dari Kalimantan. Sehingga harganya lebih mahal dan terus merangkak naik.
Gara-gara harganya melejit, urusan "perjengkolan" ini sampai juga ke jajaran pemerintah pusat. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengakui permintaan konsumen terhadap bahan makanan seperti jengkol berpotensi naik jelang bulan puasa seperti sekarang.
"Biasanya barang-barang sejenis seperti petai, jengkol dan kabau itu menjelang puasa meningkat," ujarnya saat ditemui di kantornya, akhir pekan lalu.
Melambungnya harga jengkol, ternyata bukan cuma bikin konsumen dongkol. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan sampai ikut mengurut dada lantaran harga bahan makanan ini lebih mahal dari daging ayam.
Dahlan mengaku sedikit kecewa mendengar harga jengkol yang naik dua kali lipat. Namun Dahlan sendiri belum mendapat cerita dari sang istri yang pecinta jengkol kalau harga bahan pangan itu melambung tinggi.
"Astaga, kok istri saya tidak bilang ya. Istri saya biasa belanja di Pasar Santa (Jakarta Selatan-red), itu makanan kesukaan dia, istri saya senang jengkol tapi saya tidak. Tapi petai saya senang," ujarnya dengan muka prihatin.
Walau bukan bidangnya mengurusi bahan makanan, mantan direktur utama PLN ini terbersit mendirikan BUMN khusus menangani jengkol. Tentu, ini ide main-main, tapi dilatari perasaan dongkolnya atas kenaikan harga jengkol yang belum pernah setinggi ini dalam satu dekade terakhir.
"Lucu-lucuan aja ya, nanti akan ada BUMN jengkol yaitu PTPN XV," ucap Dahlan sambil tertawa.
Tawa Dahlan barangkali langsung berhenti jika dia tahu kini nasib petai, yang dia gemari, sebelas dua belas dari jengkol. Giliran penggemar petai harus bersiap lunglai karena terpaksa lebih irit membeli bahan pangan favoritnya jika tak ingin kantong jebol.
Di pasaran Luar Jawa, petai sudah menunjukkan kenaikan harga signifikan. Bahkan, lonjakannya lebih mengerikan dari jengkol. Sebab, harga petai mencapai Rp 80.000 per kg. Tingkat harga itu kini hampir menyamai harga daging sapi per kilogramnya yang sekitar Rp 90.000 per kg, seperti terlihat di pasar Kota Pekanbaru, Riau.
Badrah (48), pedagang sayuran di 'Pasar Kaget', Tenayan Raya, Pekanbaru, mengatakan dari informasi yang dia dengar harga petai bikin konsumen berkantong cekak gigit jari, lantaran adanya gagal panen.
Kabar itu dibenarkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pekanbaru, Elsyabrina. Dia mengatakan kenaikan harga petai di wilayahnya disebabkan berbagai faktor. Selain gagal panen, menurut dia, terganggunya jalur distribusi akibat cuaca buruk juga mempengaruhi harga ecerannya di pasar-pasar tradisional.
Meski gawat darurat petai dan jengkol, pemerintah tidak terlalu ambil pusing. Hatta Rajasa yakin kedua bahan pangan itu kenaikan harganya tak akan sampai menimbulkan gejolak ekonomi.
Berkaca dari sejarah republik ini, politikus PAN itu melihat jengkol dan petai belum pernah menyumbang peningkatan inflasi sehingga menggerus daya beli masyarakat.
"Saya kira itu tidak terlalu besar dan mempengaruhi inflasi. Belum ada inflasi tinggi karena jengkol," tandasnya.
Para penggemar kuliner jengkol dan petai wajib waspada. Pergerakan harga yang mengejutkan ini belum tentu akan berakhir segera. Pasalnya, menjelang kenaikan bahan bakar subsidi, bulan Ramadhan, serta Lebaran, tak menutup kemungkinan harga kebutuhan sehari-hari ikut terkerek.
Alhasil, ancaman dongkol karena terpaksa puasa jengkol, dan lunglai karena tak bisa sering menikmati petai, dapat berlanjut untuk waktu cukup lama.
Sumber :
http://www.merdeka.com/uang/setelah-jengkol-bikin-dongkol-giliran-petai-bikin-lunglai.html
noreply@blogger.com (rian saadillah sukamdi Yan) 04 Jun, 2013
-
Source: http://besoklagiaja.blogspot.com/2013/06/setelah-jengkol-bikin-dongkol-giliran.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar